Betty Idroos berhasil menjadi satu-satunya komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang selamat dari sanksi Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) akibat menolak penggunaan jet pribadi dalam rangka Pemilu dan Pilpres 2024 lalu. Keputusan ini diambil setelah DKPP mengadakan sidang untuk membahas laporan mengenai penggunaan pesawat jet pribadi oleh rombongan KPU selama kampanye pemilu, yang berlangsung pada 21 Oktober lalu.
Dalam sidang tersebut, anggota Majelis, Ratna Dewi, menjelaskan bahwa tindakan Betty menolak jet pribadi adalah langkah etis yang patut diapresiasi. Ia dinilai telah memperlihatkan sikap profesional dan menjunjung tinggi akuntabilitas dalam melaksanakan tugasnya sebagai penyelenggara pemilu.
“Tindakan teradu VI tidak menggunakan jet pribadi dan lebih memilih pesawat komersial merupakan tindakan yang sesuai dengan asas kepatutan dan kepantasan sebagai pejabat negara, terutama dalam hal monitoring distribusi logistik,” ungkap Ratna.
Keputusan DKPP dan Sanksi yang Dikenakan kepada Anggota KPU
DKPP memutuskan untuk menjatuhkan sanksi berupa peringatan keras kepada Ketua KPU RI beserta empat komisioner lainnya, termasuk Parsadaan Harahap, Yulianto Sudrajat, Idham Holik, dan August Mellaz. Keputusan ini diambil karena mereka terbukti melanggar kode etik dan pedoman perilaku penyelenggara pemilu.
“Kami menjatuhkan sanksi peringatan keras kepada teradu I (Muhammad Afifuddin) selaku Ketua yang sekaligus merangkap anggota KPU. Teradu lainnya, Idam Holik, Yulianto Sudrajat, Parsadaan Harahap, dan August Mellaz, juga menerima sanksi yang sama,” lanjut Heddy.
Selain itu, Sekjen KPU RI, Bernad Darmawan Sutrisno, juga mendapat sanksi serupa. Keputusan ini menegaskan bahwa tindakan penggunaan jet pribadi oleh anggota KPU tidak sesuai dengan etika penyelenggara pemilu yang harus dijunjung tinggi di tengah tanggung jawab publik yang mereka emban.
Etika dalam Penggunaan Anggaran dan Keputusan Penyediaan Logistik
Penggunaan jet pribadi oleh beberapa anggota KPU dipandang sebagai langkah yang tidak dibenarkan menurut etika penyelenggara pemilu. Tindakan ini menimbulkan pro dan kontra dalam masyarakat, terutama mengenai transparansi dan tanggung jawab penggunaan anggaran negara.
Ratna menjelaskan bahwa dari 59 perjalanan yang dilakukan menggunakan jet pribadi, tidak ada satu pun yang terkait dengan distribusi logistik. Hal tersebut menunjukkan bahwa keputusan mereka untuk menggunakan jet pribadi tidak sejalan dengan tujuan awal untuk memonitor distribusi logistik di daerah 3T, yaitu terdepan, tertinggal, dan terluar.
Dalam konteks ini, penting untuk menekankan bahwa para penyelenggara pemilu harus berpegang pada prinsip akuntabilitas dan transparansi. Mereka harus memastikan bahwa setiap tindakan yang diambil, terutama yang melibatkan penggunaan anggaran, dapat dipertanggungjawabkan kepada publik.
Dampak Sosial dari Tindakan Penyelenggara Pemilu
Tindakan penyelenggara pemilu dalam penggunaan jet pribadi berpotensi menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap integritas lembaga. Ketika publik melihat anggota KPU menggunakan fasilitas yang dianggap berlebihan, hal ini dapat merusak citra lembaga yang seharusnya netral dan terpercaya.
Di era digital saat ini, di mana informasi dapat tersebar dengan cepat, transparansi menjadi lebih dari sekadar pilihan; itu adalah keharusan. Lembaga penyelenggara pemilu harus mampu memberikan klarifikasi yang memadai agar masyarakat tetap percaya pada proses demokrasi yang berlangsung.
Tidak jarang, pendapat masyarakat beranjak dari ketidakpuasan jika mereka merasa bahwa penyelenggara tidak menjalankan tugasnya dengan baik. Oleh karena itu, menjaga etika dan kepatutan dalam setiap tindakan sangatlah krusial.
