Konflik Perebutan Takhta Raja Keraton Surakarta Terulang Kembali, Ini Faktanya

Konflik yang berlangsung di Keraton Surakarta antara dua putra dari Pakubuwono XIII dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa dinamika internal kerajaan tidak selalu berjalan harmonis. Duel ini melibatkan KGPH Purbaya dan KGPH Mangkubumi, yang masing-masing mengklaim hak untuk takhta yang telah menjadi milik orang tua mereka. Ketegangan yang terjadi mencerminkan kompleksitas tradisi dan hukum yang ada di dalam tatanan keraton.

Perebutan takhta ini bukanlah hal baru, mengingat sejarah yang panjang dari konflik serupa dalam keraton. Sejak Pakubuwono XII meninggal pada tahun 2004, keraton ini sudah menyaksikan berbagai perselisihan yang menyentuh tema kekuasaan dan legitimasi. Dua nama yang kini menjadi fokus perhatian adalah Purbaya, putra bungsu, dan Mangkubumi, putra sulung yang sama-sama berjuang mendapatkan tempat yang sah sebagai pemimpin.

Selain faktor keluarga, elemen lain dalam perjuangan ini adalah dukungan dari berbagai kalangan di dalam keraton maupun masyarakat luas. Langkah-langkah yang diambil oleh masing-masing pihak dalam konflik ini telah menyebabkan baik keraton maupun masyarakat terpecah. Lantas, bagaimana perkembangan terbaru dari situasi yang cukup rumit ini?

Drama Perebutan Gelar Pakubuwono XIV yang Menarik Perhatian

Perjuangan untuk mendapatkan gelar Pakubuwono XIV telah menjadi sorotan selama beberapa bulan terakhir. Pada 5 November, KGPH Purbaya menyatakan dirinya sebagai Pakubuwono XIV, menciptakan momen bersejarah yang menarik banyak perhatian media. Di hari yang sama, ia melakukan upacara yang menandai ikrar untuk mengklaim tahta Keraton Surakarta.

Tindakannya diikuti dengan pengumuman resmi pada 15 November, ketika ia mengadakan upacara Jumenengan Dalem Binayangkare di Kompleks Sitihinggil. Dalam prosesi tersebut, Purbaya membacakan sumpah jabatan yang menguatkan posisinya dalam sutradara keraton. Di sisi lain, Mangkubumi juga tidak kalah aktif; pada 13 November, ia pun dinobatkan sebagai Pangeran Pati oleh keluarganya.

Upacara pengukuhan Mangkubumi menunjukkan dukungan dari sejumlah elit keraton, yang menandakan bahwa ketegangan ini tidak hanya melibatkan dua tokoh, tetapi juga pihak ketiga yang berperan dalam menentukan siapa yang seharusnya duduk di tahta kerajaan. Hal ini membuat situasi semakin rumit dan menarik untuk diikuti lebih lanjut.

Ketegangan dalam Persatuan Keluarga yang Terlihat di Depan Publik

Kedua putra ini, meskipun berada di tempat yang sama, tampak tidak saling menyapa dalam situasi-situasi publik. Pada salat Jumat di Masjid Agung Solo pada 21 November, keduanya terlihat duduk di saf yang berdekatan namun sama sekali tidak berinteraksi. Hal ini menjadi simbol dari ketegangan yang ada dalam keluarga.

Ketidakhadiran komunikasi antara Purbaya dan Mangkubumi mengisyaratkan bahwa konflik ini tidak hanya bersifat simbolis, namun juga menyentuh aspek emosional yang dalam. Ini bisa dipandang sebagai dampak dari keinginan masing-masing untuk mempertahankan posisi dan pengaruh mereka di keraton.

Situasi ini memberikan gambaran yang jelas tentang bagaimana warisan dan kekuasaan dapat merusak hubungan keluarga, menciptakan jurang yang dalam antar anggota keluarga yang seharusnya bersatu dalam menghadapi tantangan. Dampak dari konflik ini tidak hanya terbatas pada kedua pihak, tetapi juga mencakup masyarakat yang mempunyai harapan akan keharmonisan dan stabilitas dalam pemerintahan keraton.

Upacara Resmi yang Selalu Ditunggu tetapi Tak Pernah Terlaksana

Kehadiran dua pemimpin yang mengklaim hak yang sama tentu menimbulkan pertanyaan mengenai formalitas dan prosesi kenaikan tahta yang seharusnya dilakukan. Hingga saat ini, upacara Jumenengan Dalem Nata untuk Mangkubumi sebagai Pakubuwono XIV belum juga terlaksana, menambah ketidakpastian di kalangan pengikutnya.

Ketua Dewan Adat Keraton, GKR Koes Murtiyah Wandansari, mengatakan bahwa Mangkubumi sudah secara resmi menjadi raja. Namun, berdasarkan undang-undang adat, prosesi kenaikan tahta bergantung pada sinyal dari alam, yang menjadi bagian tak terpisahkan dari tradisi keraton. Proses ini memerlukan keharmonisan dan persetujuan segala pihak yang terlibat.

Hal ini menciptakan keadaan yang aneh, di mana legitimasi sebuah posisi yang seharusnya dihormati justru tergantung pada tradisi dan tata cara yang lambat. Dinamika ini mencerminkan tantangan yang dihadapi keraton modern di tengah tuntutan untuk mengikuti perkembangan zaman.

Konflik yang Menyentuh Kegiatan di Museum Keraton Surakarta

Dalam konfrontasi ini, tidak hanya pertikaian gelar yang berlangsung. Pegawai Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah X merasa terancam ketika mereka diminta meninggalkan Museum Keraton Surakarta oleh pendukung Purbaya. Situasi ini menjadi guncangan tersendiri, menambahkan dimensi baru dalam konflik yang sudah berlangsung.

Keputusan untuk mengganti gembok-gembok di museum dan berbagai pintu penting keraton membuat para pegawai merasa diusir saat mereka melaksanakan tugas mereka. Hal ini menimbulkan pertanyaan lebih lanjut mengenai hak kepemilikan dan pengelolaan aset budaya, yang sangat berharga bagi masyarakat.

Pihak Purbaya sendiri mengklaim bahwa mereka hanya ingin melakukan perbaikan dan pengamanan di area keraton, bukan bermaksud mengusir. Namun, penjelasan ini tidak sepenuhnya meredakan kontroversi yang ada, mengingat konteks dan sensitivitas yang mengelilingi konflik ini.

Permohonan yang Tidak Diterima oleh Pengadilan dan Harapan di Masa Depan

Di tengah segala hiruk-pikuk, KGPH Purbaya juga mengajukan permohonan untuk mengubah namanya menjadi SISKS Pakubuwono XIV. Namun, langkah tersebut ditolak oleh Pengadilan Negeri setempat karena dianggap tidak substansial dan tidak memenuhi syarat. Keputusan ini menambah lapisan kerumitan dalam situasi yang sudah sangat tidak jelas ini.

Permohonan yang tidak diterima ini menjadi simbol dari ketidakpastian yang menyelimuti masa depan keraton. Proses hukum yang panjang dan berbelit terkadang memperlambat kemajuan menuju penyelesaian, sehingga menghasilkan frustrasi di kalangan pendukung kedua belah pihak.

Walau masih menghadapi banyak tantangan, harapan untuk kestabilan dan kedamaian di Keraton Surakarta tetap ada. Kesadaran akan pentingnya dialog dan pemahaman satu sama lain bisa jadi langkah awal untuk menyelesaikan perselisihan ini. Will keraton dapat menemukan cara untuk menyelesaikan konfliknya dan mengembalikan keharmonisan ke dalam tradisi yang telah ada selama berabad-abad? Hanya waktu yang bisa menjawab.

Related posts