Menteri PPPA Protes Vonis Ringan TNI atas Kasus Penganiayaan Pelajar SMP hingga Tewas

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Arifah Fauzi mengungkapkan kekecewaannya terhadap vonis yang dianggap ringan bagi seorang anggota TNI yang terlibat dalam penganiayaan seorang pelajar hingga meninggal di Deli Serdang, Sumatera Utara. Dalam pandangan Arifah, keadilan yang setimpal harus diberikan agar bisa mencegah kasus serupa di masa yang akan datang.

Arifah menilai, pengadilan militer seharusnya memberikan hukuman yang lebih berat, mencerminkan keseriusan tindak kekerasan terhadap anak. Sebab, setiap tindakan tersebut adalah pelanggaran hukum yang tidak bisa ditoleransi.

“Setiap bentuk kekerasan terhadap anak adalah tindak pidana yang tidak dapat ditoleransi dan harus diproses secara transparan, adil, serta memberikan efek jera yang setimpal,” tegas Arifah dalam pernyataannya.

Ia juga mengkritik vonis oleh Majelis Hakim yang lebih ringan dibandingkan ancaman hukuman yang diterapkan dalam UU Perlindungan Anak. Menurutnya, kasus yang melibatkan korban MHS ini seharusnya ditangani di pengadilan umum agar mendapatkan keadilan yang lebih baik.

“Berdasarkan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, pelanggaran hukum pidana umum semestinya diproses di peradilan umum, bukan peradilan militer,” ungkapnya lebih lanjut.

Untuk mendorong keadilan, Arifah menegaskan pentingnya seluruh aparat penegak hukum, baik peradilan umum maupun militer, memprioritaskan kepentingan terbaik bagi anak dalam setiap proses dan putusan. Hal ini merupakan langkah penting untuk melindungi anak-anak dari kekerasan.

Mendorong Proses Hukum yang Transparan dan Adil

Arifah juga meminta Oditur Militer untuk mengajukan banding terhadap putusan yang dianggap tidak mencerminkan keadilan. Ia berpendapat bahwa Mahkamah Agung (MA) perlu terlibat dalam mengawasi proses hukum guna memastikan keputusan yang diambil benar-benar adil bagi korban dan keluarganya.

“Kami mendorong Oditur Militer untuk mengajukan upaya banding terhadap putusan itu,” ujarnya dengan tegas. Langkah ini dianggap vital agar hukum benar-benar memberikan perlindungan bagi anak-anak di Indonesia.

Dalam pernyataannya, Arifah juga meminta institusi di pengadilan militer untuk menjamin setiap kasus kekerasan terhadap anak ditangani secara transparan dan profesional. Keberpihakan terhadap korban harus menjadi prioritas utama dalam setiap keputusan hukum.

“Tidak ada toleransi bagi pelaku kekerasan terhadap anak. Negara wajib hadir memastikan keadilan dan perlindungan terbaik bagi setiap anak Indonesia,” tambahnya, menegaskan komitmen pemerintah untuk melindungi generasi muda.

Insiden yang melibatkan MHS ini terjadi pada 24 Mei 2024, saat korban dan temannya berada di lokasi tawuran di Jalan Pelican, Deli Serdang. Dalam upaya untuk membubarkan kerumunan, MHS diduga menangkap dan dianiaya oleh oknum Bintara Pembina Desa (Babinsa), yang mengakibatkan luka berat hingga korban meninggal dunia.

Konteks Hukum yang Dihadapi Korban dan Keluarga

Ibu korban yang merasa tidak terima dengan kejadian tersebut melaporkan insiden itu ke Detasemen Polisi Militer I/5 dengan nomor laporan yang dicatat. Pengaduan itu menggambarkan betapa seriusnya pelanggaran hukum yang terjadi di tengah masyarakat.

Setelah lebih dari setahun, pada 20 Oktober 2025, pengadilan militer memberikan vonis kepada pelaku, yang hanya dijatuhi hukuman penjara selama 10 bulan. Selain itu, pelaku juga diharuskan membayar restitusi sebesar Rp12.777.100.

Vonis tersebut sangat jauh berbeda dari ancaman hukuman yang diatur dalam Pasal 76C jo Pasal 80 ayat (3) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, yang mengatur hukuman maksimal selama 15 tahun penjara. Ini menimbulkan pertanyaan mengenai keseriusan penegakan hukum dalam kasus kekerasan terhadap anak.

Bagi Arifah, keputusan yang dianggap tidak memadai ini bisa memberikan pesan yang salah kepada masyarakat. Kasus ini juga menjadi sorotan besar mengenai bagaimana hukum harusnya melindungi anak yang adalah generasi penerus bangsa.

Dengan semua perhatian yang terfokus pada kasus ini, diharapkan ada langkah konkret yang diambil oleh aparat hukum untuk memastikan perlindungan hak-hak anak. Hal ini penting demi memberikan rasa aman serta kepercayaan kepada masyarakat bahwa hukum dapat ditegakkan secara adil.

Konsekuensi Setiap Tindakan Kekerasan terhadap Anak

Tindakan kekerasan terhadap anak, khususnya yang dilakukan oleh oknum aparat, memberi dampak psikologis serta sosial yang luas. Ini berdampak tidak hanya pada korban, tetapi juga keluarganya dan masyarakat sekitar.

Keberanian keluarga korban untuk melaporkan insiden ini menjadi langkah awal untuk keadilan. Namun, proses hukum yang berlarut-larut sering kali menyulitkan keluarga dan menambah beban psikologis yang harus mereka tanggung.

Oleh karena itu, penting bagi masyarakat dan pemerintah untuk bekerja sama. Pemerintah perlu memberikan pendidikan serta penyuluhan tentang kekerasan terhadap anak untuk mencegah insiden serupa terjadi lagi.

Kolaborasi antara semua pihak, termasuk lembaga sosial dan penegak hukum, diharapkan bisa menciptakan lingkungan yang lebih aman bagi anak-anak.Satu hal yang pasti, semua pihak harus belajar dari kasus ini agar perlindungan anak benar-benar terwujud.

Penting untuk diingat bahwa setiap tindakan ada konsekuensinya. Masyarakat perlu bersikap kritis terhadap penegakan hukum yang berlaku, terutama dalam kasus-kasus yang melibatkan anak. Transisi menuju sistem hukum yang lebih adil dan responsif terhadap anak merupakan tantangan yang harus dihadapi oleh bangsa ini.

Related posts